Senin, 22 Juni 2009

Mengantisipasi Kelumpuhan Karir Untuk Yang Sudah Bekerja

OLEH : IMAN NUH HUDI (06104244061)

Kelumpuhan karir (Career Paralyse) sebetulnya hanya sebuah istilah untuk menggambarkan adanya dinamika karir seseorang yang sudah tidak bergerak lagi, entah itu ke atas atau ke samping. Meminjam istilah dari banyak literatur, orang yang terkena ini langkahnya seperti orang yang terpenjara (trapped), putus asa atau tidak punya harapan lagi ketika berbicara soal karir atau profesi. Wilayah kehidupan lain di luar karir juga terkena imbas buruk, tertekan oleh perasaan tidak aman atau tidak layak.
Dalam prakteknya kerap kita jumpai ada sekelompok orang yang dinamika karirnya bergerak membaik tetapi ada juga yang dinamika karirnya sudah mandek atau lumpuh di level tertentu. Tentu saja ini diukur menurut keadaan masing-masing orang. Pesan John Maxwell mengatakan: “Banyak orang yang akhirnya berada di tempat (kerja) yang salah karena mereka mendiami tempat yang tepat terlalu lama.” Tanda-tanda paling umum yang perlu kita waspadai seputar munculnya kelumpuhan itu adalah:
Benar-benar merasa tidak bahagia dengan pekerjaan atau profesi yang ada
• Depresi berat meski sudah promosi, rotasi, dsb
• Kecenderungan untuk melakukan kritik-diri secara berlebihan
• Motivasi dan semangat berkompetisi yang sangat rendah
• Rasa rendah diri
• Tidak memiliki tujuan yang jelas dan jelas-jelas kita perjuangkan
Menurut laporan studi di bidang karir, hal-hal buruk di atas tidak muncul
seketika dan langsung banyak, melainkan berproses. Kelumpuhan terjadi karena adanya pengabaian yang berproses dari titik tertentu ke titik yang lain. Untuk koreksi-diri, marilah kita lihat proses di bawah ini:
Dissatisfaction (Ketidakpuasan)
• Demotivation (Kehilangan sumber motivasi)
• Paralyse (Kelumpuhan)

Awalnya, kelumpuhan itu berawal dari ketidakpuasan yang diabaikan. Kita merasa tidak puas dengan keadaan sekarang tetapi ketidakpuasan itu kita biarkan menjadi energi negatif. Atau juga kita menjumpai hal-hal yang membuat kehilangan alasan untuk bersyukur tetapi itu kita biarkan atau tidak kita transfromasikan menjadi energi positif.
Dalam hitungan yang ke sekian juta kali, ketidakpuasan itu muncul dari batin kita dan selalu kita biarkan, maka lahirlah sel-sel baru. Jadilah ia demotivator dalam bentuk: tidak ada gairah berprestasi ke tingkat yang lebih tinggi, kehilangan visi pribadi ke depan, bekerja dengan niat asalkan gaji bulanan lancar, dan seterusnya.
Sampai pada tahap di mana sebagian besar kebiasaan kerja kita didominasi oleh ketidakpuasan dan demotivasi, maka sangat masuk akal jika yang terjadi adalah kelumpuhan. Ibarat kata, biarpun ilmu manajemen kita segunung, tetapi kalau batin ini bermasalah, kemungkinan besar ilmu yang segunung itu tak bisa berbuat banyak. Biarpun jaringan kita banyak, tetapi kalau batin kita bermasalah, maka jaringan yang banyak itu tak bisa berbuat banyak untuk kemajuan karir kita.

Menjadikan sebagai pemacu
Dilihat dari perspektif ketuhanan, munculnya perasaan tidak puas atas keadaan yang ada, itu bukan sesuatu yang tanpa guna. Ketidakpuasan ada gunanya dan kitalah yang diberi pilihan untuk menggunakannya. Jika diikuti perspekstif ini, berarti kita diharapkan dapat menggunakan ketidakpuasan yang muncul sebagai pemacu atau pendorong untuk melakukan hal-hal yang positif.
Karena itu, Dr. Felice Leonardo Buscaglia, American Professor of Education, pernah berpesan: "Perubahan adalah hasil akhir dari pembelajaran. Perubahan itu melibatkan tiga langkah, yaitu: pertama, ketidakpuasan. Kedua keputusan untuk berubah guna memenuhi penolakan atau kebutuhan. Ketiga,kesadaran untuk mengabdikan diri pada proses perkembangan." Seperti kita sadari, memang tidak semua perubahan membawa perbaikian yang langsung buat kita, tetapi semua perbaikan menuntut perubahan.
Lalu, bagaimana mengelola ketidakpuasan itu agar tidak menjadi benih-benih kelumpuhan karir? Barangkali kita bisa melakukan tiga hal berikut ini:
Pertama, menyadari bahwa ketidakpuasan itu bisa kita gunakan sebagai pemacu dan menggunakannya untuk memacu diri. Seperti yang sudah kita bahas, ketidakpuasan itu netral gunanya meski rasanya sama. Karena netral (bisa killer dan bisa builder), maka jangan heran bila ada sebagian orang yang semakin terpacu dan ada lagi yang malah menjadi lumpuh. Ini bukti bahwa perbedaan ini tidak diciptakan dari ketidakpuasan itu, melainkan diciptakan dari bagaimana orang itu menggunakan ketidakpuasannya. Jangan heran bila dalam satu realitas, ada orang yang mendapatkan pencerahan dan ada orang yang mendapatkan kegelapan.
Dengan menjadikan ketidakpuasan itu sebagai pemacu atau pendorong kemajuan maka di sini posisi kita secara mental bukan menjadi korban atas ketidakpuasan tapi sebagai penguasa atas ketidakpuasan itu.
Kedua, realisasikan ke dalam program perbaikan. Seperti kita tahu, untuk meraih kemajuan atau perbaikan tentu tidak cukup dengan hanya memiliki dorongan yang kuat atau keinginan yang kuat. yang dibutuhkan selain itu adalah merealisasikan keinginan yang keras itu ke dalam sebuah program perbaikan yang spesifik dan riil. Kenapa harus spesifik? Biasanya, program perbaikan yang kita inginkan itu jumlahnya amat banyak. Apalagi dalam kondisi ketidakpuasan. Inginnya kita adalah mengubah diri secara total (total improvement) dan sekaligus.
Meski sedemikian rupa keinginan itu, tapi bila kemampuan kita tidak sampai, keinginan itu pasti gagal. Untuk menghindari ini harus ada perbaikan yang spesifik berdasarkan prioritas. Inilah yang disebut learning atau belajar menjadi lebih baik dari praktek.
Ketiga adalah mengelola emosi. Seperti kita alami, perasaan ketidakpuasan itu dinamis sifatnya. Untuk satu hal, untuk satu keadaan dan satu tempat, bisa saja terkadang kita merasa tidak puas, dan terkadang kita puas. Jadi, selain dinamis juga temporer. Karena itu, tidak terlalu tepat juga kalau kita menggunakan setiap ketidakpuasan itu untuk menyusun program perbaikan baru.
Oleh karenanya maka mengelola emosi itu penting, karena akan mengajarkan kapan kita menggunakan ketidakpuasan sebagai pemacu untuk merumuskan program perbaikan baru dan kapan kita menggunakan ketidakpuasan itu sebagai spirit untuk menjalankan program yang sudah kita rumuskan. Kalau kita sedikit-sedikit bongkar pasang rencana, judul akhirnya malah tidak karu-karuan. Tetapi kalau kita tidak merumuskan rencana baru atau memiliki standar prestasi yang baru, ini biasanya malah membikin kita mandek yang berujung pada apa yang disebut dengan kelumpuhan karir itu.
Dengan tiga hal di atas katakanlah misalnya nasib karir kita belum sebagus yang kita inginkan, tetapi yang paling penting di sini adalah batin kita dinamis. Dengan batin yang dinamis ini langkah kita menjadi dinamis dan lebih enteng. Kalau langkah kita menjadi enteng, saya pikir ini berbeda dengan ketika langkah kita yang telah dipenuhi oleh beban ketidakpuasan. Kita bagaikan kendaraan yang kelebihan muatan. Biarkan gas sudah kita tancap sedemikian kuat, tapi kecepatannya masih belum optimal. Seperti pesan seorang atlit, masalahnya bukan di luar diri kita, tetapi di dalam diri kita.

Sumber:
http://www.e-psikologi.com/pengembangan/031006.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar